Kisah LDR 18 Hari dan Refleksi 6 Tahun Pernikahan

Assalamu'alaikum....

Siapa di sini yang sudah menikah tapi #timLDR??

Saya ga angkat tangan deh, saya #timsatuatap soalnya.

Loh, tapi judulnya koq?

Iyaa.. Jadi ini ceritanya tentang LDR 18 hari di bulan Februari tadi karena ditinggal suami pelatihan ke Jakarta.

18 hari itu lumayan lama menurut saya yang biasanya ditinggal ke luar pulau paling lama 5 hari. Apalagi tetangga kanan kiri tidak banyak ditambah sanak saudara yang bisa dibilang tidak ada di kota perantauan ini.

Mama mertua bahkan sampai yang "Serius ga pulkam aja? Anak 2 lo, sendiri di sana". Eh, ga bilang langsung sih beliau. Tapi saya bisa baca gesture wajahnya pas kami video call-an.

Tapi kalo dibilang nekat... Iya sih, bener...  karena saya nekat memilih untuk tetep stay di rumah dengan kondisi; tanpa ART, tetangga dekat cuma 1 itupun jarang interaksi dan keluarga hampir tidak ada.

Lalu, apa yang bikin saya kekeuh ga pulang dan memilih tetap di rumah dengan 2 bocil? Tidak lain karena saya mau menyusun ulang semuanya. Mulai dari membenahi rumah, membeli rak buku dan menyortir perkakas sampai membenahi komunikasi pasutri kami yang bisa dibilang cukup buruk.

Ya, buruk....

Bahkan saking buruknya saat suami pergi pelatihan itu kami masih dalam masa-masa perang dingin, tidak ada "farewel party", tidak ada pelukan hangat apalagi kecupan. Kami baikan 12 jam sebelum berangkat dan itu kaya terpaksa, jadi saat melepas suami juga jadi canggung. Antara sayang tapi masih mangkel.

Yaa...gitu lah. Kalian pernah ga sih merasakan?

Nah, kalau saya pulkam yaaa semua hal itu mustahil saya lakukan, kan? So it's my strong why I must stayed.


Selama 18 hari kami berjauhan kami seperti diajak untuk introspeksi diri masing-masing, mulai dari kenapa jadi kami (sering) marahan, apa sebab-sebab yang bikin marah, sampai hal apa yang kami inginkan dari sisi komunikasi bersama pasangan.

Karena yaa... Jujur, saya merasakan 6 tahun menikah kenapa merasa hubungan kami bertambah buruk karena komunikasi kami yang tidak kunjung ada perbaikan.

Saya dan suami sama-sama anak pertama. Yah, kalian tau lah sisi psikologis anak pertama itu apa? Ya, dominan. Kami berdua anak pertama, it means that kami seperti ingin saling mendominasi. Bahasa mudahnya kalo ditegur salah oleh salah satu dari kami, keseringan tidak menerima dan merasa yang dilakukan sudah benar.

Misalnya, tentang parenting. Dari segi waktu, saya yang IRT ini jelas lebih banyak kesempatan untuk belajar parenting dibandingkan suami yang sibuk kerja. Kemudian ketika saya melihat suami melakukan hal yang salah ketika mengasuh anak dalam kacamata parenting saya, saya akan menegurnya. Tapi, bukannya menerima, si dia malah punya alasan lain.

 Adu argumen lah kami akhirnya.

Unfortunately, kami berdua juga bukan makhluk verbal. Jadi, ketika saya tidak setuju dengan caranya,  respon saya; marah dengan kata-kata pendek tapi menukik lalu diam, cemberut, dan tidak menyapa dalam 2 hari.

Lalu, bagaimana respon si dia?

Awal-awal menikah dia masih selow, ga terlalu menanggapi kemarahan istrinya. Jadi, kalo saya sudah reda marahnya ya sudah selesai perangnya.

Tapi, makin ke sini dia ikut-ikutan juga. Saya marah dan mendiamkan 2 hari. Setelah sayanya reda eh giliran dia lagi yang ngambek.

Kondisi seperti ini sungguh tidak baik. Hawa di rumah juga panas jadinya, ke anak juga ga nyaman karena sedikit banyak jadi pelampiasan. Huhuhu, astagfirullah....

Ya, buruk sekali....

Sampai-sampai saya ga sengaja membanding-bandingkan suaminya orang yang terlihat sabaran dibanding istrinya yang kurang lebih ngeselinnya sama saya.

Dan itu sempet ga tahan lagi, saya nangis beberapa hari sebelum keberangkatannya. Bukan, bukan nangis karena kita mau jauhan, tapi nangis karena...."Kamu koq gitu sih!?".

6 tahun menikah dan saya sudah ga tahan. Seperti ada yang harus segera dibereskan. Inginnya ke konsultan pernikahan seperti teman-teman saya yang bermasalah. Tapi di sini di mana?

Sampai sini saya masih tahan untuk ga curcol di status manapun, baik IG stories, WA apalagi Facebook. Jadi, bener-bener ga ada yang tau atau tercium apapun selain kami berdua.

Sampai akhirnya, bak kompor yang mau meledak, akhirnya saya menghubungi ipar, adiknya suami yang seumuran denganku, di hari pertama aku dan suami LDR. Keluarlah semua yang kutahan selama ini. Walau cerita mengalir lewat ketikan tapi dia tau yang bercerita bukan hanya kata tapi juga air mata.

Berdoa....

Itu sarannya. Berdoa untuk luluhkan hatinya (dan hatiku juga).

Sudah kataku. Berdoa itu keniscayaan. Pasti sudah, bahkan sebelum aku mengeluhkan ini. Tapi, keadaan masih sama.

Berdoa....

Katanya mengulangi.

Ok lah, aku akan mengulanginya lagi.

Dan alhamdulillah setelah itu suami menghubungiku setelah aku berniat tidak akan menghubungi lebih dulu.

Tidak langsung baikan, karena beberapa hari setelah itu kami berselisih lagi. Hufh, lelahnya kami.

Akhirnya setelah beberapa hari dia mengalah, aku pun ikut-ikutan mengalah. Makin ke sini kami makin banyak introspeksi. Lidah yang biasanya kelu jadi lancar. Aku mulai bisa mengatakan apa-apa yang tidak kusukai darinya, mulai bisa menyampaikan apa-apa yang aku inginkan. Begitu juga sebaliknya.

Dan sekarang di 6 tahun pernikahan kami, kami belajar lagi menata hubungan ini dan belajar berkomunikasi dengan baik bersama pasangan. Ini terlihat receh bagi kalian, bahkan jika saya di posisi single saya pasti juga akan bilang "Ya ampun, kekanak-kanakan sekali sih, gitu aja sampai diributin, ngomong aja kenapa". Oh, sungguh.... Itu bukan hal yang mudah. Itu hanya terlihat mudah, tapi prakteknya sungguh susah. Apa "itu"? Komunikasi.

Dan aku sangat bersyukur bisa sejenak merasakan LDR karena entah bagaimana kami kalau tidak diberikan waktu untuk sama-sama berpikir jernih dulu.

Jadi, intinya LDR membawa hikmah ya. Alhamdulillah....

Ok, sekian nyampah curhatan saya kali ini. Semoga ada manfaatnya walau sekecil biji selasih ya.

***

Udah yaa, kita damai Bro, capek. Mending energi (sama uangnya) buat nanti naik haji 💖


Jika sudah begini rasanya rindu sekali dengan waktu pertama menikah. Sederhana, ngontrak di rumah kayu milih warga, menemani kerja, menyambut pulang kerja, ngobrol berdua karena gak ada TV. Aku beruntung sekali pernah merasakan yang namanya berjuang di awal pernikahan. Tapi menuliskannya ternyata berat sekali, karena aku kalo sudah ketemu masalah inginnya nyampah. Apa bagusnya dibaca orang? Kalau diri sendiri yang baca sih gak masalah, justru jadi bahan refleksi dan introspeksi. 

Komentar